Jejak Sejarah Transmigran Jawa di Lampung
Berdasar etnisnya, menurut data dari pemerintah Lampung, ternyata persentase orang Jawa yang tertinggi, yakni 65,8 persen. Disusul Lampung 12,8 persen, Sunda 11,36 persen, Minangkabau 3,57 persen, Batak 2,13 persen, Bali 1,73 persen dan etnis lainnya 2,15 persen. Hal ini merupakan dampak transmigrasi yang sebetulnya dimulai sejak 1905 oleh Belanda dan dilanjutkan Republik Indonesia pada 1950. Setelah transmigrasi berjalan tentu saja banyak pendatang lain datang dan para transmigran itu juga beranak pinak.
Dari Teluk Betung orang-orang Jawa itu berjalan kaki ke Gedong Tataan selama dua hari. Tak ada kendaraan bermotor untuk mengangkut 815 orang yang terdiri atas 155 kepala keluarga (KK) beserta anggota keluarganya. Daerah-daerah yang mereka lalui masih sepi. Dalam buku Transmigrasi di Indonesia 1905-1985 (1986), Slamet Poerboadiwidjojo menulis, “Desa inti pertama dibangun pada tahun 1905 di Gedong Tataan, kira-kira 25 km di sebelah baratnya Tanjungkarang di pinggir jalan ke Kota Agung. Pembangunan desa ini ditangani sendiri oleh Hayting yang membangun desa itu dengan pola dari Jawa.
Orang-orang Jawa ini disebut sebagai kolonisten dan membangun kampung pertama persis di sekitar museum sekarang. Kampung yang di mata administratur kolonial mirip koloni itu pun dinamai Bagelen. Nama itu diambil dari daerah asal orang-orang Jawa itu yang berada di wilayah Purworejo. Desa Bagelen di Lampung itu kini termasuk wilayah kecamatan Gedong Tataan, yang masuk Kabupaten Pesawaran.
Bagelen, yang menjadi daerah asal kolonisten itu, tergolong daerah bahaya bagi pemerintah kolonial. Daerah yang pada masa itu masuk ke wilayah Keresidenan Kedu dipenuhi keturunan pengikut Diponegoro. Semula, orang-orang Bagelen ini hendak dikirim ke Banyuwangi. Daerah di pesisir timur Pulau Jawa ini kemudian dianggap tidak cocok. Bisa saja orang-orang Bagelen itu pulang lagi ke kampungnya ketika kegiatan bertaninya tak berhasil. Keresidenan Lampung dirasa cocok, selain karena harus menyeberang lautan, daerah itu dianggap masih banyak lahan kosong.
Hingga 1927. Setelah 155 KK tiba di Gedong Tataan pada 1905, bergelombang-gelombang orang-orang Jawa yang jadi kolonisten pun berdatangan ke Keresidenan Lampung. Menurut data Museum Transmigrasi, tahun berikutnya ada 550 KK Jawa asal Banyumas juga didatangkan. Bersama anggota keluarga yang dibawa, jumlahnya total mencapai sekitar 2,795.
Dari tahun ke tahun situasi dan fasilitas yang dihadapi para kolonisten menjadi jauh lebih baik dibandingkan angkatan pertama yang datang pada 1905. Sudah banyak jalan yang dibangun. Kendaraan bermesin pun sudah disediakan untuk mengangkut para kolonisten. Orang-orang yang jadi kolonisten pun tak hanya dari Bagelen saja, tapi dari daerah-daerah lain. Dari 1919 hingga 1928, selain masih mendatangkan kolonisten asal Kedu, didatangkan juga dari Kediri dan Tulungagung.
Jumlah orang Jawa di Lampung tentu saja membengkak menjadi puluhan bahkan akhirnya ratusan ribuan. Hampir tiap tahun ada gelombang kolonisten baru. Menurut data Museum Transmigrasi, sekitar 51.006 KK (206.361 jiwa) telah dipindahkan oleh Pemerintah kolonial Belanda dari 1905 hingga sekitar 1943.
Selain Gedong Tataan, daerah Kota Agung, yang kini menjadi jantung Kabupaten Tanggamus, pun menjadi tujuan sejak 1922. Bahkan, mantan kuli kontrak Jawa di perkebunan-perkebunan di Sumatra Timur macam Deli pun diarahkan ke Keresidenan Lampung sejak 1932. Mereka ditempatkan di sekitar Gedong Tataan dan Sukadana. Antara 1939 hingga 1940, puluhan ribu orang dari pulau garam Madura, juga hijrah ke Lampung.
Setelah Gedong Tataan penuh, maka untuk melanjutkan usaha pemindahan penduduk itu dicarikan tempat lain, sedapat-dapatnya tidak jauh dari Gedong Tataan. Pilihan jatuh pada hutan cadangan milik warga di daerah Sukadana yang sekarang terkenal sebagai daerah transmigrasi Metro. Sebelum 1935, daerah ini telah ditempatkan sekolompok kolonisten, tapi pengiriman secara besar-besaran baru dimulai pada 1935 setelah diadakan persiapan-persiapan yang lebih memadai.
Jika area koloni di Sukadana melahirkan kota baru bernama Metro, area koloni Gedong Tataan ikut melahirkan kota yang kini bernama Pringsewu. Setelah Indonesia merdeka, istilah kolonisten berubah menjadi transmigran. Intinya sama, memindahkan penduduk untuk membuka daerah baru. Fasilitas untuk menunjang kegiatan pertanian pun semakin disediakan. Sarana irigasi dibangun, di antaranya viaduct (jembatan air atau jalur air). Salah satu yang masih tersisa di desa Pajaresuk, di Pringsewu. Viaduct itu dibangun sekitar 1928.
Pada 1952, pemerintah Republik Indonesia mengirim orang-orang dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Bali. Jumlahnya 6.111 orang 1.220 KK. Orang-orang ini ditempatkan di daerah-daerah bernama Sekampung, Purbolinggo, Banjit dan Pekalongan. Dari tahun 1952 hingga 1968, terdapat 53.168 KK (221.035 jiwa) yang dipindahkan.
Hari diberangkatkannya transmigran pada 12 Desember 1950 kemudian dijadikan Hari Bakti Transmigrasi. Meski pun, sejatinya, transmigrasi sudah dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1905. Di daerah bekas tujuan transmigrasi itu, tak sulit mencari nama daerah dengan nama Jawa di Lampung. Di Pringsewu, setidaknya ada kecamatan-kecamatan dengan nama Pringsewu, Pagelaran, Pardasuka, Gadingrejo, Sukoharjo, Ambarawa, Adiluwih, Banyumas dan Pagelaran Utara. Di kecamatan Banyumas saja, terdapat desa-desa bernama Sriwaylangsep, Srirahayu, Banyurejo, Mulyorejo dan Sukamulya.
Follow Us:
Instagram: @atturats_official
Facebook : @At- Turats
Blog : At- Turast Official
Penulis: Muhammad Mas'ud
Komentar
Posting Komentar